Tradisi Unik Suku Osing, Banyuwangi
Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dengan ragam budayanya masing-masing. Salah satunya tercermin dari tradisi unik pernikahan suku Osing di Banyuwangi, yang merupakan keturunan dari Kerajaan Majalahit.
Pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar 1478 M, sejarah suku Osing atau disebut Using itu bermula. Sisa laskar Majapahit ketika itu mengungsi ke Bali, lereng Gunung Bromo (Suku Tengger) dan menjadi Suku Osing di Blambangan. Mereka mewarisi budaya Majapahit yang berbeda dari budaya Suku Jawa pada umumnya. Tapi mereka lebih mirip dengan kebudayaan Bali, dari sendra tarinya, adat istiadat, bahasa maupun arsitektur dan hiasan yang dipasang pada atap bangunan rumah mereka. Bahasa yang digunakan mereka adalah bahasa Jawa Kuno.
Tidak terlalu familiar kisah dan budaya mereka, sehingga timbul persepsi yang mengatakan kalau suku Osing itu bertalian erat dengan ilmu gaib Puputan, yang terus bertahan hingga titik darah penghabisan. Secara historis memang demikian. Mereka adalah pejuang sejati yang melawan VOC, penjajah di masa kolonial Belanda, terus menerus. Beratus kali mereka berperang, hingga sekarang peperangan dilestarikan menjadi sebuah atraksi di berbagai acara, termasuk perhelatan pernikahan.
Tidak terlalu familiar kisah dan budaya mereka, sehingga timbul persepsi yang mengatakan kalau suku Osing itu bertalian erat dengan ilmu gaib Puputan, yang terus bertahan hingga titik darah penghabisan. Secara historis memang demikian. Mereka adalah pejuang sejati yang melawan VOC, penjajah di masa kolonial Belanda, terus menerus. Beratus kali mereka berperang, hingga sekarang peperangan dilestarikan menjadi sebuah atraksi di berbagai acara, termasuk perhelatan pernikahan.
Tradisi Mencari Jodoh
Dalam tradisi pernikahan Suku Osing, gaya busana pengantin banyak dipengaruhi oleh gaya Jawa, Madura, Bali, dan suku lain. Jadi, tidaklah terlalu unik. Yang menarik justru tradisi mereka yang dikenal dengan istilah geredhoan, yaitu ajang mencari jodoh yang dilakukan oleh pemuda-pemudi suku tersebut. Tetapi pada prinsipnya mereka mengawali hidup baru dengan tradisi perkenalan, lalu ke tahap meminang dan terakhir baru ke pelaminan.
Geredhoan pada awal mula digelar di kantung-kantung pemukiman mereka di pedalaman Banyuwangi, seperti Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan Mojopanggang), dan Singonjuruh. Tapi belakangan hanya dilakukan setahun sekali di Desa Kabat, Dadapan, dan Rogojampi. Penyelenggaraannya bertepatan pada acara Maulid Nabi SAW.
Di beberapa tempat dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng, Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) dekat masjid. Sambil memasak, para pemudi di dalam bilik itu mengikuti salawat dan ceramah agama.
Sementara itu para lanceng (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika menaksir, lanjut dengan acara ngobrol. Tapi mereka tidak bicara langsung melainkan dibatasi dengan sekat dinding dari bambu itu. Makin malam dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya.
Apa tandanya? Si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek. Jika si pemudi mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya bila dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah begini, dilanjutkan dengan berbalas pantun. Esoknya, tumpeng dan kue basah seperti nagasari, onde-onde, pisang goreng, lemper, bikang, dan sate telur puyuh ditaruh dalam wadah persegi dari bambu. Di bagian tengahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur bertusuk sejumlah 99. Kemudian, dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama, sambil bersalawat.
Di Desa Gitik, Kecamatan Kabat acara geredhoan diadakan secara ala kadarnya. Tidak selalu bulan Rabiulawal. Di rumah-rumah yang digelar tradisi ini, pintunya dibuka lebar. Namun untuk ke pelaminan tidaklah mudah, karena bisa saja orang tua tak setuju. Ada solusi lain, yaitu kawin nyolong atau kawin lari, hanya dalam arti positif, yakni dinikahkan dengan resmi. Soal jodoh Suku Osing yakin, selama janur belum melengkung, masih ada kesempatan pihak lain untuk memperistri. Umumnya, perkawinan mereka juga awet.
Arak-Arakan dan Perang Bangkat
Satu lagi yang unik dalam tradisi pernikahan Suku Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi adalah diselenggarakannya tradisi arak-arakan pengantin. Pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili sambil membawa saserahan. Unik sekali, karena yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, melainkan juga mengusung perbekalan berupa bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (bahasa Osingnya irus—Red), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang
Ini prosesi awal dari pesta pernikahan pengantin Suku Osing. Yang sangat menarik, para tetangga yang dilewati arak-arakan itu juga bergabung ke dalam barisan. Alhasil, begitu sampai di rumah pengantin perempuan, arak-arakan bisa sepanjang gerbong kereta api. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat, yang sarat akan petuah dan nasihat dari para tetua adat.
Ketika itu dalam bentuk drama, pengantin pria (Raja) dan pengantin putri (Ratu) duduk dengan dipisahkan selembar kain putih. Masing-masing didampingi seorang dalang yang akan mengadu pusaka mereka. Dalang juga menjadi juru bicara atau membawakan pesan moral. Disebut Perang Bangkat, karena kedua dalang harus berperang dengan beradu argumen. Setelah itu, mereka sah sebagai suami-istri secara adat. Ini bukti bahwa Suku Osing sangat menjunjung tinggi nilai budaya para leluhur. (1003)
Source : http://kabarinews.com/utama-3-tradisi-unik-suku-osing-banyuwangi/56353
Source : http://kabarinews.com/utama-3-tradisi-unik-suku-osing-banyuwangi/56353
Tidak ada komentar:
Posting Komentar